Engkau Harus Mencintai Nabimu dan Semua Cinta Butuh Bukti
Saudaraku yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah Ta’ala.
Itulah yang harus dimiliki setiap muslim yaitu hendaklah Nabinya lebih
dia cintai dari makhluk lainnya. Anas bin Malik mengatakan bahwa
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Salah
seorang di antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai
daripada anaknya, orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Cinta bukanlah hanya klaim semata. Semua cinta harus dengan bukti. Di antara bentuk cinta pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ittiba’ (mengikuti), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. Karena ingatlah, ketaatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah buah dari kecintaan.
Penyair Arab mengatakan: Sekiranya
cintamu itu benar niscaya engkau akan mentaatinya. Karena orang yang
mencintai tentu akan mentaati orang yang dicintainya.
Kebalikan dari Cinta
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa di antara bukti cinta adalah mentaati dan ittiba’ pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berarti kebalikan dari hal ini adalah enggan mentaatinya dan melakukan suatu ibadah yang tidak ada ajarannya.
Dari sini berarti setiap orang yang
melakukan suatu ajaran yang tidak ada tuntunan dari Nabinya, maka
ungkapan cinta Nabi pada dirinya patut dipertanyakan. Karena ingatlah di
samping niat baik, seseorang harus mendasari setiap ibadah yang dia
lakukan dengan selalu mengikuti tuntunan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Lalu apakah betul cinta Nabi harus dibuktikan dengan mengenang hari kelahiran beliau dalam acara maulid Nabi?
Sejarah Maulid Nabi
Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh (sejarah),
perayaan Maulid Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’in dan juga empat imam madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang
yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Perlu diketahui pula bahwa -menurut
pakar sejarah yang terpercaya-, yang pertama kali mempelopori acara
Maulid Nabi adalah Dinasti ‘Ubaidiyyun atau disebut juga Fatimiyyun
(silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah).
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum-
dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah
(keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.
(Dinukil dari Al Maulid, hal. 20)
Fatimiyyun yang Sebenarnya
Kebanyakan orang belum mengetahui
siapakah Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun. Seolah-olah Fatimiyyun ini adalah
orang-orang sholeh dan punya i’tiqod baik untuk mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi senyatanya tidak demikian.
Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad
Dimasqiy mengatakan, “Perlu diketahui, para ulama telah sepakat bahwa
Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah) lebih dekat pada ajaran
Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam keimanan
daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat bid’ah
dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun … Bani Fatimiyyun adalah di
antara manusia yang paling fasik (banyak bermaksiat) dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127)
Seorang pakar sejarah yang bernama Al
Maqrizy juga menjelaskan bahwa begitu banyak perayaan yang dilakukan
oleh Fatimiyyun dalam setahun. Beliau menyebutkan kurang lebih ada 25
perayaan. Bahkan lebih parah lagi mereka juga mengadakan perayaan hari
raya orang Majusi dan Nashrani yaitu hari Nauruz (Tahun Baru Persia),
hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), dan hari Al Khomisul ‘Adas
(perayaan tiga hari selelum Paskah). Ini pertanda bahwa mereka jauh dari
Islam. Bahkan perayaan-perayaan maulid yang diadakan oleh Fatimiyyun
tadi hanyalah untuk menarik banyak masa supaya mengikuti madzhab mereka.
Jika kita menilik aqidah mereka, maka akan nampak bahwa mereka memiliki
aqidah yang rusak dan mereka adalah pelopor dakwah Batiniyyah yang
sesat. Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap
rahasia dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa
Bani Fatimiyyun adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih
parah dari Yahudi dan Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara
mereka mengklaim ‘Ali sebagai ilah (Tuhan yang disembah) atau ada
sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali memiliki kenabian. Sungguh Bani
Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan Nashrani. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 142-158)
Inilah sejarah yang kelam dari Maulid
Nabi. Dari penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa
merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah Fatimiyyun yang
pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah
ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari Islam, senang berbuat
sesuatu yang tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di antara orang
yang paling fasiq dan paling kufur. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Sanad jayid/bagus)
Sikap Ahlus Sunnah dalam Menyikapi Perayaan Maulid Nabi
[Pertama] Muhammad bin
‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini
tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikir, ‘ibadah, nafkah atau sedekah
tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari besar
Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan
oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau. Bagaimana
seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus juga
kematiannya [?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu
termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at
maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.
Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu
mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali,
dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak
disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan
orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang gemar
menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah. … Lantas
faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari
penghamburan harta yang memberatkan [?]” (As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat, 138-139)
[Kedua] Seorang ulama
Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al
Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela).
Beliau rahimahullah mengatakan,
“Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As
Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan
qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari
pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang
diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan
waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada
makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum
taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat
perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para
ulama) atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang
namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang
meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat,
tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku terhadap
hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena yang
namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum
muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan
terlarang atau haram.” (Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi, 1/183)
Pembelaan Sebagian Orang dalam Masalah Maulid
[Pertama] Maulid adalah Bentuk Rasa Syukur, Pengagungan dan Nantinya akan lebih mengenal sosok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Cukup kami jawab, kalau memang maulid
adalah bentuk syukur, mengapa sejak generasi sahabat hingga imam mazhab
yang empat tidak ada yang melakukan perayaan ini [?] Apakah keimanan
mereka lebih rendah dibanding orang-orang sekarang yang merayakannya [?]
Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan: “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Inilah perkataan para ulama pada setiap
amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat.
Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para
sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera
melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)
Juga kami katakan, “Mengapa ucapan syukur, penghormatan dan mengenal sosok Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya sekali dalam setahun, hanya pada 12 Rabi’ul Awwal? Mengagungkan,
mencintai, mengenal sosok beliau dan bersyukur bukan hanya sekali
setahun, namun setiap saat dengan mentaati dan selalu ittiba’ pada beliau.”
[Kedua] Maulid Nabi adalah Bid’ah Hasanah (Bid’ah yang baik)
Ingatlah saudaraku, bid’ah dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikenal sama sekali adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diyakini oleh sahabat, setiap bid’ah adalah sesat.
Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda, “Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara
adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Dari hadits dan perkataan sahabat di
atas, kita akan melihat bahwa mereka mengatakan semua bid’ah itu sesat,
tanpa ada pengecualian.
Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa
‘Umar bin Al Khaththab pernah menyatakan bahwa shalat tarawih yang dia
hidupkan adalah “sebaik-baik bid’ah”? Dari perkataan beliau ini menurut
mereka, ada bid’ah hasanah (yang baik).
Sanggahan:
Ingatlah para sahabat tidak mungkin melakukan bid’ah. Yang dimaksud
dengan bid’ah dalam perkataan ‘Umar adalah bid’ah secara bahasa Arab
yang berarti sesuatu yang baru.
Jika ada yang masih ngotot bahwa tidak
semua bid’ah sesat, ada di sana bid’ah yang baik (hasanah), maka cukup
kami katakan: Kalau ‘Umar menghidupkan shalat tarawih dan beliau katakan
sebagai bid’ah, hal ini ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga melaksanakan shalat tarawih di awal-awal Ramadhan. Namun karena
takut amalan tersebut dianggap wajib, maka beliau tidak menunaikannya
lagi. Jadi, intinya ‘Umar memiliki dasar dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sekarang, apa maulid Nabi memiliki dasar dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana shalat tarawih yang dihidupkan oleh ‘Umar [?] Jawabannya tidak sama sekali. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah merayakan hari kelahirannya, begitu pula para sahabat,
tabi’in, dan para imam madzhab tidak ada yang merayakannya. Sehingga
maulid tidak bisa kita sebut bid’ah hasanah. Yang lebih tepat maulid
adalah bid’ah madzmumah (tercela) sebagaimana yang dikatakan oleh Asy
Syuqairiy dan Al Fakihaniy yang telah kami sebutkan di atas.
[Ketiga] Nabi memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa
Sebagian beralasan dengan puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan.
Sanggahan:
Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk merayakan hari
kelahiran beliau [?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan
puasa pada tanggal kelahirannya yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu
kalau benar pada tanggal tersebut beliau lahir. Karena dalam masalah
tanggal kelahiran beliau masih terdapat perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
lakukan adalah puasa pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal [!]
Seharusnya kalau mau mengenang hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas,
maka perayaan Maulid harus setiap pekan bukan setiap tahun.
Penutup
Akhirnya, sulit dibenarkan jika perayaan
Maulid Nabi dengan segala modelnya diklaim sebagai bentuk kebaikan
dalam rangka mentaati dan mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Justru kebenaran ada pada pihak yang tidak merayakan Maulid, demi ketaatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam menjaga kebersihan ajaran Islam. Bukankah masih banyak
sunnah-sunnah Rasul yang masih terbengkalai dan belum kita sentuh?
Sungguh ironis, sekian banyak sunnah dilupakan, bahkan dilecehkan,
sementara bid’ah maulid dibela mati-matian. Semoga kita terhindar dari
pengaruh tipu daya para penyeru bid’ah dan kesesatan, yang lebih
cenderung berbuat bid’ah bahkan terkadang tidak memahami sunnah Nabinya.
Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi
Syu’aib, “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan
selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan
dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa
alihi wa shohbihi wa sallam. [Muhammad Abduh Tuasikal. Baca Tulisan selengkapnya di www.muslim.or.id]
Post a Comment